Pemilik BLOG
- KAMI CINTA BUDAYA TOLAKI
- Kendari, Sulawesi Tenggara, Indonesia
- Organisasi Kami Cinta Budaya Tolaki (KCBT) adalah salah satu Organ dari dinamika masyarakat Tolaki yang masih ingin budaya Entitas Tolaki tetap dipertahankan diperkenalkan dan dijunjung tinggi dengan nilai-nilai sosial yang ada dan tumbuh dalam era perubahan zaman. KCBT menganggap bahwa budaya Tolaki memang sepantasnya mendapat perhatian khusus dalam wajah generasi muda jaman ini. Kami tidak ingin budaya Tolaki yang merupakan representasif dari sejarah dan kultur budaya Konawe Mekongga hilang bahkan lenyap dari peradaban zaman yang tergilas roda modernisasi.
Sabtu, 17 Maret 2012
Jumat, 16 Maret 2012
Menurut penulis Drs Basaula Tamburaka bahwa Kalo dipandang secara
harfiah atau arti Kalo sebagai benda terbuat dari sepotong Rotan
pilihan, dibentuk (dililit) menjadi lingkaran dengan kedua ujungnya
diikat satu simpul. Untuk keseragaman bentuk dan bahan serta ukuran
Kalo, telah diputuskan pada temu budaya Tolaki di Unaaha tahun 1996.
Kalo itu terbuat dari bahan rotan (Uewai terkecil tidak dibelah, boleh
juga Uewatu terkecil tidak dibelah). Proses pembuatannya, dipilin tiga
utas rotan dari arah kiri kekanan (KALO HANA). Salah satu ujungnya
keluar menonjol dan ujung lainnya tersembunyi pada simpul. Di sini ada
makna tersendiri simpul Kalo. Insyaallah tulisan berikutnya akan
dijelaskan.
Adapun alat kelengkapan Kalo, adalah terdiri wadah terbuat tangkai daun “WIU” atau Anggrek bulan (sorume) dianyam tangan sesuai ukuran tertentu. Wadah ini disebut Siwole Uwa. Dan sehelai kain putih bersih. Pada bagian pinggir atau tepi wadah ini disulam menurut karakter orang Tolaki, dibuatkan peti, diukir khusus agar tidak tercecer apalagi tercemar dengan benda lain. Khusus ukuran besar-kecil Kalo sebagai benda itu, telah disepakati pada temu budaya di atas terdiri 2 jenis peruntukan Pertama, diperuntukan pemakaiannya untuk Bupati ke atas, sesepuh dan tokoh masyarakat Tolaki, besarnya berdiameter atau garis menengahnya 45 cm disebut Kalo “TEHAU O’BOSE”. Kedua, untuk digunakan Camat kebawah, umum dan masyarakat biasa, berdiameter atau garis menengahnya 35 cm disebut Kalo “MEULA INE BOSE”. Dimana jenis kedua bentuk Kalo inilah, banyak digunakan atau sering kita saksikan atau mungkin Anda pernah melihat di rumah-rumah penduduk, ketika digelar acara Adat Mombesara Wonua, terutama pada acara upacara Mowindahako.
Kalo sebagai benda dan ketika sebutan Kalo Sara, harus dilengkapi wadah disebut “Siwole Uwa” di alas kain putih, di dalamnya di isi selembar daun sirih segar pilihan dan sebuah pinang muda segar. Diletakkan persis ditengah lingkaran Kalo untuk digelar bersama perangkat lainnya. Nah, bagaimana sebutan “Kalo Sara”? Artinya Kalo sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai benda. Sedangkan O’Sara adalah Adat-Istiadat atau hukum Adat. Menurut tokoh Adat Tolaki Drs. H. Muslimin Su’ud, SH “Kalo Sara adalah gabungan tiga komponen yaitu rotan kecil yang dililit tiga buah lilitan, secarik kain putih sebagai alas Kalo, dan wadahnya Siwole Uwa. Ketiga komponen inilah dinamakan Kalo Sara atau O’Sara.
Ketika orang Tolaki menyebut “Kalo Sara”, dimaknai lebih luas jangkauannya. Bahkan mengandung unsur sakral. Umpamanya Anda pernah mendengar salah satu motto filosofis dalam bahasa puitis Tolaki yang berbunyi “Inae Kona Sara Ieto Pinesara, Inae Liasara Ieto Pineka Sara”. Artinya barang siapa mentaati/menjunjung tinggi hukum (Adat) akan diperlakukan dengan baik dan adil, tapi barang siapa melanggar hukum akan diberi ganjaran atau sangsi. Itulah yang dimaksudkan Kalo Sara sebagai “Jantung” hukum adat Tolaki berlaku sejak ratusan tahun lalu, sampai hari ini masih diyakini dan ditaati, dipatuhi oleh yang mengaku masyarakat atau suku Tolaki dimanapun mereka berada. (*)
Adapun alat kelengkapan Kalo, adalah terdiri wadah terbuat tangkai daun “WIU” atau Anggrek bulan (sorume) dianyam tangan sesuai ukuran tertentu. Wadah ini disebut Siwole Uwa. Dan sehelai kain putih bersih. Pada bagian pinggir atau tepi wadah ini disulam menurut karakter orang Tolaki, dibuatkan peti, diukir khusus agar tidak tercecer apalagi tercemar dengan benda lain. Khusus ukuran besar-kecil Kalo sebagai benda itu, telah disepakati pada temu budaya di atas terdiri 2 jenis peruntukan Pertama, diperuntukan pemakaiannya untuk Bupati ke atas, sesepuh dan tokoh masyarakat Tolaki, besarnya berdiameter atau garis menengahnya 45 cm disebut Kalo “TEHAU O’BOSE”. Kedua, untuk digunakan Camat kebawah, umum dan masyarakat biasa, berdiameter atau garis menengahnya 35 cm disebut Kalo “MEULA INE BOSE”. Dimana jenis kedua bentuk Kalo inilah, banyak digunakan atau sering kita saksikan atau mungkin Anda pernah melihat di rumah-rumah penduduk, ketika digelar acara Adat Mombesara Wonua, terutama pada acara upacara Mowindahako.
Kalo sebagai benda dan ketika sebutan Kalo Sara, harus dilengkapi wadah disebut “Siwole Uwa” di alas kain putih, di dalamnya di isi selembar daun sirih segar pilihan dan sebuah pinang muda segar. Diletakkan persis ditengah lingkaran Kalo untuk digelar bersama perangkat lainnya. Nah, bagaimana sebutan “Kalo Sara”? Artinya Kalo sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai benda. Sedangkan O’Sara adalah Adat-Istiadat atau hukum Adat. Menurut tokoh Adat Tolaki Drs. H. Muslimin Su’ud, SH “Kalo Sara adalah gabungan tiga komponen yaitu rotan kecil yang dililit tiga buah lilitan, secarik kain putih sebagai alas Kalo, dan wadahnya Siwole Uwa. Ketiga komponen inilah dinamakan Kalo Sara atau O’Sara.
Ketika orang Tolaki menyebut “Kalo Sara”, dimaknai lebih luas jangkauannya. Bahkan mengandung unsur sakral. Umpamanya Anda pernah mendengar salah satu motto filosofis dalam bahasa puitis Tolaki yang berbunyi “Inae Kona Sara Ieto Pinesara, Inae Liasara Ieto Pineka Sara”. Artinya barang siapa mentaati/menjunjung tinggi hukum (Adat) akan diperlakukan dengan baik dan adil, tapi barang siapa melanggar hukum akan diberi ganjaran atau sangsi. Itulah yang dimaksudkan Kalo Sara sebagai “Jantung” hukum adat Tolaki berlaku sejak ratusan tahun lalu, sampai hari ini masih diyakini dan ditaati, dipatuhi oleh yang mengaku masyarakat atau suku Tolaki dimanapun mereka berada. (*)
Rabu, 07 Maret 2012
Selasa, 06 Maret 2012
Nilai-nilai Kebudayaan masyarakat TOLAKI
Kota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku
bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi
Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal
dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki
dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan
Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan
ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya
akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam
perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah
menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU
sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah
kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban
yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu
mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta
kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa
dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan
kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi
sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang
merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi
kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau
perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara
(Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat),
masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan
secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal
sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki,
misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat
tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat.
Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan
selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
-
Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari
pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat,
dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan
dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang
akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk,
penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat
dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk
selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu
meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
-
Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini
merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan
santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan
filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara
lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang
siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela
oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka
ia akan dikenakan sanksi / hukuman
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
-
Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka
tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi
setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara
adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan
fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling
tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe
tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang
tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya
malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat
mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan
dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa
yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi
sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki.
Khasanah
kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara
Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa
Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi
anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di
daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri
ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri
kepada Tuhannya masing-masing.
bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi
Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal
dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki
dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan
Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan
ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya
akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam
perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah
menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU
sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah
kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban
yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu
mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta
kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa
dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan
kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi
sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang
merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi
kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau
perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara
(Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat),
masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan
secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal
sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki,
misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat
tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat.
Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan
selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
-
Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari
pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat,
dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan
dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang
akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk,
penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat
dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk
selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu
meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
-
Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini
merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan
santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan
filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara
lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang
siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela
oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka
ia akan dikenakan sanksi / hukuman
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
-
Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka
tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi
setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara
adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan
fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling
tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe
tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang
tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya
malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat
mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan
dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa
yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi
sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki.
Khasanah
kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara
Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa
Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi
anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di
daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri
ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri
kepada Tuhannya masing-masing.
Langganan:
Postingan (Atom)